Rabu, 10 Oktober 2018

Goals (?)

PERHATIAN! Tulisan ini mengandung "keegoisan" ^_^ setelah melewati berbagai macam perjuangan yang tidak dilakoni dan dimaknai secara serius, kini saya merasa harus menutup lembaran perjuangan yang tidak sungguh-sungguh itu. menutup lembaran dengan membuka lembaran yang sangat baru- saya menemukan banyak hal. saya merasa pencapaian saya tidak diiringi dengan usaha yang maksimal. saya sadar, kalau bukan karena pertolongan Tuhan dan do'a orang tua saya-saya merasaa belum bisa sampai saat ini. kehidupan sebenarnya sudah dimulai, penyesalan, keinginan, kebingungan, kurangnya tujuan yang benar menjadi bekal untuk memperbaiki hidup yang baru. setelah sekian lama melakoni diri ingin menjadi a-b-c-d, belajar dari satu tempat ke tempat lain tanpa menuntaskannya-alias setengah-setengah. passion yang disukai pun tidak sungguh-sungguh membuat saya membuka mata, "Kamu ini mau ke mana? mau apa?" ingin menjadi manusia yang bermanfaat saja tidak cukup, perlu bukti yang kongkrit untuk mewujudkannya. hmm...baiklah... menyesali diri saja tidak cukup, menulis "keegoisan" ini saja tidak cukup, harus terus bergerak dan menyerahkan urusan pada Tuhan-meskipun kerisauan akan hari esok selalu mengiringi perjalanan. hidup memang lebih berarti bila kita mampu memanfaatkan potensi yang ada dalam diri. lalu sampai kapan terus begini?
Share:

Sabtu, 09 Juni 2018

Temu

Hari ini, entah mengapa rasanya aku ingin sekali bertemu denganmu. Sambil berjalan menyusuri koridor kampus, aku memperhatikan sekeliling, berharap kau muncul dan aku dapat meluapkan rindu yang tak seharusnya ini. Entah mengapa, aku ingin bertemu denganmu seperti akan meninggalkanmu selama-lamanya, seperti sudah tak ada lagi ruang untuk kita saling bersua. Pikirku saat itu adalah, ketika kita sudah tak saling bertemu, setidaknya aku dapat melihat bagaimana keadaanmu saat ini, bukan sekedar kata ‘baik’ dibalik percakapan tak tatap muka itu. Aku tidak tahu, apa yang menyebabkan begitu kuat keinginanku untuk bertemu. Aku tahu, keinginan untuk bertemu adalah sebuah kesalahan yang seharusnya tak pernah terjadi. Semakin aku redam keinginanku, semakin ingin aku bertemu. Berceloteh apa saja, berbagi kisah. Tapi rasanya itu tak akan menyelesaikan apa yang sedang aku rasakan. Aku hanya menginginkan temu, tidak lebih. *iseng-iseng tulisan lama :)
Share:

Sabtu, 24 Februari 2018

Desember- Januariku

Pergantian tahun selalu menjadi hal yang ditunggu bagi sebagian orang. Bermacam evaluasi hingga resolusi sudah disusun sedemikian rupa. Cara merayakannyapun beragam dari hening hingga hingar bingar. Termasuk aku, 3 tahun terakhir ini aku belum sepenuhnya menyadari -menanti pergantian tahun 2 tahun terakhir- karena ditahun pertama aku tak menanti apa yang akan terjadi. 2 tahun terakhir aku menanti, hanya memberikan kesempatan untuk setiap kejadian yang akan menghampiri. Meski aku tahu akhirnya akan seperti apa, dan pasti hanya sementara saja. Aku membiarkan semuanya mengalir, meski tetap pada ketetapan dan pendirianku. Mungkin ini yang menjadikan semuanya sementara. Atau mungkin, aku yang terlalu mendramatisir setiap keadaan, menerka, kebahagiaan yang cepat dan terlalu menikmati. Aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya mengiringi perjalanan hidupku. Pelajaran membekas setelah itu,yang seharusnya menjadi pertimbanganku kini dan nanti. Terlalu positif merespons apapun yang terjadi membuatku terlalu naif dan lugu. Atau terlalu negatif, seperti tak memberi ruang berekspresi. Pada akhirnya, apapun yang terjadi aku (berusaha) paham pola, aturan, alur bahkan permainan yang akan terjadi. Percayalah, aku bukan seperti yang kalian bayangkan atau lihat. Aku jauh dari seperti yang kalian duga. Desember-Januariku semoga kalian tabah, setabah Bulan Juni.
Share:

Minggu, 18 Februari 2018

(Usaha) Meleburkan Ego

Banyak pelajaran berserakan yang baru saya sadari saat ini, di usia 'hampir seperempat abad' ini yang saya baru menyadarinya. Hari ini banyak sekali belajar, belajar dari anak kecil hingga orang tua. Saya belajar mengajar, berbagi ilmu yang sedikit saya miliki pada seseorang yang ingin sekali fokus beribadah di usia senjanya. Setelah asam garam kehidupan telah dilaluinya, masa kejayaan, masa muda ,beliau menceritakannya dengan semangat, tapi ketika beliau mengatakan kini saatnya untuk beribadah, untuk akhirat saya,nada bicaranya rendah, menghela nafas. Ilmu kehidupan dan semangatnya beribadah membuat saya tertarik mendengarkannya. Saya memang mudah dekat dengan orang lain tapi hanya sekadarnya saja, itu mungkin yang membuat beliau berbagi pengalamannya. Di hari yang sama, saya mengajar anak kecil yang berusia 3 tahun, suatu tantangan sendiri bagi saya yang tidak terlalu telaten ngemong anak kecil. Anak ini pintar, selalu ingin tahu. Dan saya sebagai seorang pengajar harus banyak menggunakan pendekatan metode karena di sisi lain tidak bisa diabaikan dan dipaksakan masa golden age anak tersebut. Pengalaman di atas memang sudah menjadi ketertarikan saya sedari dulu untuk memahami dan memelajari kehidupan. Psikologi dan komunikasi adalah dua ilmu yang saya sukai sejak MTs, hanya menyukai tapi belum memberikan kesadaran secara utuh terhadap apa yang saya sukai itu. Beranjak dewasa, kehidupan, kebingungan terhadap diri sendiri, keluarga dan lingkungan menjadikan saya semakin tertarik ingin memelajari dan memperhatikan lebih lanjut. Memanfaatkan emosi saya yang berlebih ini untuk memahami hal-hal yang saya cari selama ini. Melalui buku, saya coba belajar tapi rasanya kurang puas akhirnya saya mendapatkan info mengenai Keluarga kita dan Rangkul yang foundernya adalah Ibu Najeela Shihab. Wah langsung saya mengikutinya dan pas sekali temanya adalah kegelisahan saya selama ini hmm hehehe. Bagaimana belajar mengungkapkan perasaan, menerima sikap orang lain, mengambil keputusan, memahami diri sendiri dan orang lain, memaafkan masa lalu, memang terlihat biasa saja, tapi bagi orang yang 'sakit' seperti saya seperti mendapatkan kepastian, eh penyembuhan...😂 Apa yang saya dapatkan, saya cari selama ini bahwa mengajar bukan sekadar transfer ilmu, tapi bagaimana bisa ada saling kemanfaatan antar guru dan murid, sopan dan santun, mendengarkan secara aktif, memahami kemauan anak, mencari cara dengan Cinta yang tidak menggurui, menyikapi hal dengan lapang. Tapi peer saya masih banyak, mengendalikan emosi salah satunya. Terima Kasih, kangen juga udah lama nggak nulis 'nyurhat' di blog ala ala. 😁😁😁
Share:

Senin, 09 Oktober 2017

Muslim yang beriman adalah muslim yang bertawakkal

Allah SWT., menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia merupakan makhluk Allah yang dibekali akal dan hawa nafsu. Akal merupakan kekuatan bagi manusia, dengan akal manusia dapat berpikir, menganalisis sesuatu, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, manusia bertambah pengetahuannya, dapat mengajar dan di ajar. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 31-33, di mana ketika Allah mengajarkan nama-nama (benda-benda) seluruhnya kepada Adam, dan Adam mampu menyebutkan kembali apa yang telah di ajarkan oleh Allah. Sedangkan, Malaikat pada saat itu, khawatir akan keinginan Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, namun Allah membantah kekhawatiran malaikat dengan berfirman “Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Proses mengajar dan diajar itulah, salah satu tugas seorang khalifah di muka bumi ini, juga merawat, menjaga bumi agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bagi sesama makhluk di bumi ini. Sebagai makhluk Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi hawa nafsu, agar manusia memiliki kecenderungan dan keinginan dalam melaksanakan tugasnya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan dalam kitab Asbabut Takhallaush minal hawa, hal 3 bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya. Sebab, kalalulah tidak ada nafsu makan, minum, dan sebagainya untuk kelangsungan hidup manusia, maka manusia akan punah. Hawa nafsu menjadi baik atau tidaknya tergantung pada hal apa ia disandarkan, jika melanggar pada syari’at maka ia bisa dikatakan tercela, sebaliknya jika di sandarkan kepada syari’at maka ia menjadi terpuji. Tugas manusia sebagai khalifah, adalah menjaga keseimbangan akal dan hawa nafsunya. Karena dengan dua komponen dasar tersebut, manusia dapat menjalankan kehidupan dengan baik, mampu menata dan menyelaraskan antara pikiran dan hawa nafsu. Manusia, sejatinya merupakan makhluk yang lemah, karena ia tidak dapat hidup secara sendirian, atau dapat dikatakan pula dalam ilmu Sosiologi sebagai makhluk sosial, artinya manusia sehebat apapun dalam menjalankan tugas sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini ia pasti membutuhkan teman (orang lain) atau makhluk lain. Tentunya, dalam hal ini saling membutuhkan dalam hal kebaikan, seperti dalam surat Al-Maidah ayat 2: .....وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ... “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Manusia bersifat lemah artinya ia lalai dalam memikirkan kehidupan akhirat, terlalu banyak kesenangan yang semu selama di dunia yang dapat melalaikannya, serta manusia diciptakan lemah karena memang jiwa dan raganya lemah. Dari segi jiwa, ia membutuhkan asupan-asupan kerohanian yang dapat meningkatkan imannya menjadi lebih baik lagi, dan dari segi raganya pada tubuh manusia tidak ada yang bisa disombongkan karena semuanya merupakan ciptaan Allah, dan semuanya berpotensi untuk sakit. Seperti dalam firman Allah surat An-Nisa ayat 28: وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” dan surat Ar-Rum ayat 54 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ “Allah dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Saya ingin menghubungkan uraian di atas dengan keterkaitan makna penjelasan surat Al-Fatihah ayat 5: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ( hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan), dapat dipahami bahwa hanya kepada sang Maha Penciptalah kami menyembah dan Memohon segala macam pertolongan artinya, hanya bergantung kepada Allah segala macam permasalahan yang dihadapi, bermacam keinginan. Ada makna ketauhidan dalam hal ini, ada makna bahwa Allah ingin para hamba-Nya menyembah hanya kepada-Nya, dan meminta tolong hanya kepada-Nya. Ada konsep cinta dan bahagia juga dalam makna ayat ini, ketika seorang hamba telah memasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Pencipta ia telah benar-benar mengakui adanya Sang Pencipta tersebut dan apabila telah memasrahkan seluruh hidupnya otomatis rasa cinta yang menjadi dasar adanya bentuk pengakuan terhadap Tuhan menjadikan kebahagiaan yang tiada tara. Karena hanya ada Allah yang menjadi setiap sandaran dan kekasihnya. Setelah manusia memasrahkan seluruh hidupnya, persoalan hidupnya kepada Allah, maka sudah seharusnya manusia percaya akan ketentuan Allah untuknya, Tawakkal kepada Allah. Percaya apapun hasil dari yang Allah tetapkan kepadanya, merupakan ciri bagi orang yang bertawakkal, ia tidak akan menyerah jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, dan bersyukur juga tidak sombong ketika apa yang diinginkannya sesuai. Seperti dalam surat Al-Insyirah ayat 7-8: فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8) “Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Sebagai khalifah di muka bumi, manusia sudah sepatutnya mengisi hidupnya untuk hal-hal kebaikan, produktif, dan bermanfaat bagi sesama. Karena menurut saya, hal-hal tersebut tidak akan tercapai, jika konsep Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in masih belum diterapkan. (والله أعلم)
Share:

Selasa, 16 Mei 2017

Gerah

Akhir-akhir ini, Jakarta begitu gerah bagiku.
Terlebih tempat tinggalku kini.
Aku seperti dalam sauna.
Jakarta gerah.

Namun, bukan gerah di sana saja.
Di sini juga.
Di mana aku, sudah menanggalkan beberapa atribut mengingatmu.

Meski menyesakkan,
Aku harus melakukannya.
Menerjang rindu yang terus menghantam.

Dan aku tak ingin mengalah, aku membiarkan rindu yang mengalah.
Dan aku, menuju mati rasa. 

Share:

Senin, 08 Mei 2017

Mengarang Bebas

Hari ini aku akan belajar mengarang apapun. Tanpa memedulikan apakah ini benar atau salah, apakah ada norma yang harus dilarang atau tidak. Aku tahu ketika kita telah mencintai seseorang, sebenarnya yang kita cintai adalah diri kita sendiri. Ketika salah satu tidak mencintai, yah bisa dikatakan “separuh jiwaku pergi” (sendirian pulaaak! Haha) Aku ingin mengatakan bahwa aku termasuk perempuan yang memiliki tingkat kesensitifan yang tinggi, begitu mudah merasa, begitu tinggi tingkat ke-geeran yang menyebabkan gagal paham rasa. Aku ingin meluapkan apapun yang aku rasakan dua tahun terakhir ini, hidup bersama bayang-bayang, kadang tersenyum, kadang meringis, kadang aku mendapatkan beitu macam ide. Entah sejak dua tahun belakangan, aku begitu melankolis terhadap kata-kata, bagiku kata-kata sebagai keniscayaan, aku telalu terpana akan keindahannya. Dulu aku mengelak kagum terhadap si perangkai kata-kata, namun kini aku sadar sesuatu lahir dengan indah karena kehebatan orang yang melahirkannya, ia menjadikan kata-kata itu menjadi hidup, menjadi indah , menjadi ingin selalu dibaca berulang kali, dan aku sambil membayangkan perasaan penulis kata-kata tersebut. Aku menghela nafas dalam, rasanya ingin menangis. Bukan hanya karena hatiku yang rapuh karena kata-kata, namun kegundahan hatiku selama ini yang tak bisa aku luapkan dengan baik, selalu aku tahan, namun rasanya aku butuh meluapkan melalui kata-kata juga. Aku masih memandangi layar laptop, tak peduli aku harus seperti apa, yang jelas kepalaku begitu pening, namun ingin meluapkan apa yang ada di pikiranku. Aku tahu, seharusnya aku mampu menata perasaanku lebih baik lagi, aku yang begitu mudahnya memberi nasihat kepada teman-teman terkait masalah perasaan, namun begitu linglung (surabi kaleee) menghadapi perasaan sendiri, Ya, sepertinya aku sudah terjebak oleh ilusiku sendiri. Menganggap ada yang tidak ada, Menganggap benar apa yang tidak benar, Its hard to believe. Setelah hari-hari itu berlalu, aku baru saja dihadapkan dengan isu yang tidak mengenakan, dan kini aku harus menghadapi isu yang aku suguhkan untuk hatiku sendiri. Ah, aku masih saja bercerita yang rasanya kurang bermanfaat, namun kalau tidak begini rasanya hatiku takkan membaik. Ciputat, 2017.
Share: