Kamis, 12 Februari 2015

Tersenyumlah....





Pertemuan singkat itu ternyata menyisakan sebuah kerinduan yang teramat hebat.
8 tahun tidak bertemu, dan kini bertemu kembali di suatu tempat yang pernah mereka lalui.

Ia masih seperti dulu, seperti lelaki yang ku kenal dari 8 tahun yang lalu, masih setia menatap penuh dengan perasaan yang tak tergambarkan, dan kini, ia masih mau mencariku.
Tepat di rumah makan di pinggir pantai,kami bertemu. Deru debur ombak berlarian meramaikan suasana diantara kami.
Selama 8 tahun terakhir aku tidak mengetahui keberadaannya, dan kini aku memenuhi permintaannya yang mendadak untuk bertemu di tempat ini.

Ia mengucapkan salam, dan lagi-lagi masih dari kebiasannya sejak dulu.
Aku tersenyum, menjawab dengan pelan salam darinya.
Tak ada sentuh jabat tangan dan lainnya, kami menempati kursi masing-masing dan berhadapan.
Tapi, oh tidak, rasanya aku sangat tak bisa berhadapan dan beradu tatapan dengan matanya. Ku serongkan badan, dan ia pun tersenyum melihat tingkahku, seakan mengerti.

Hening.
Waktu berjalan terasa lambat sekali, dan rasanya bibirku kelu untuk mengucapkan apapun untuknya.
“apa kabar, Refa?”
Sedikit terbata, aku menjawab “kabarku baik” aku tersenyum.
“maaf, telah menggangu waktumu, hanya untuk bertemu dengan lelaki sepertiku”
Aku menatapnya, mencerna kalimat yang barusan ia sampaikan.
Tapi, rasanya rinduku terlalu hebat, egoku tak terkendali,
“darimana kamu selama ini, Raya?”
Tiba-tiba sesak dalam dadaku bergemuruh, rasa sakit, rindu, semuanya berlomba ingin keluar melalui isak tangis.
“maafkan aku Refa, rasanya kalau mengingat kembali masa itu, aku tak bisa. Aku ingin mengubur semua kenangan pada masa itu”
“tapi selama ini, adakah kamu mencari cinta lain?”
Ia terdiam, tertunduk, seperti tengah berusaha keras menyembunyikan sesuatu.
“apakah kau mencari cinta lain, Raya?” tanyaku lagi
Ia mentapku dalam-dalam, seperti lelaki yang kehilangan kekuatan, terlihat tegar, namun sebenarnya aku tahu, ia sangat lemah.
“ya, aku mencari orang lain, Refa”
Seperti gemuruh petir di siang bolong, aku menelan ludah, terasa sakit sekali kerongkonganku.
“dulu, aku mencari cinta lain, bukan berarti aku sudah tidak memiliki perasaan lagi untukmu, Reva. Aku mencari ketika saat itu aku butuh sandaran, dan untuk menghubungimu aku enggan, aku merasa tak pantas.”

Apa? Apa katanya tadi?
Mudah sekali ia mengatakan seperti itu, aku disini berusaha untuk tetap bangkit, meski harus berkali-kali merasakan hujaman rindu, meski terus berharap agar lelaki itu dapat menjaga dirinya dengan baik.
“Refa, sebelum kita tak bertemu, adakah kamu menjelaskan kenapa kita harus berpisah selama ini?”

Aku diam tak bergeming.
“adakah kamu menjelaskan itu?, bukankah kamu yang memutuskan untuk pergi? Tanpa memberiku kesempatan untuk menanyakan alasannya?”

Aku hanya takut, aku pergi karena aku tak ingin membuatnya terbebani oleh aku, semua permasalahan yang aku punya, aku tak ingin ia merasakannya juga, aku hanya takut menyampaikannya, takut ia semakin memikirkan keadaanku. Tapi disisi lain, aku pun selalu mengharapkan ia kembali dan hadir kembali disisiku.

“Refa, aku pun laki-laki yang butuh kepastian. Aku pun selalu berharap kamu kembali, meski aku tidak tahu kabarmu selama ini. Aku pun butuh sandaran yang ketika dulu kamu menjadi sandarannya lalu menghilang, apa aku bisa tenang?”

Apakah masih ada sedikit namaku dihatimu itu, Raya?
Apakah keputusanku salah sehingga kau tak mampu menjaga hatimu, yang selama ini aku harapkan hanya untukku?

“tapi, sudahlah. “ lelaki itu tersenyum.
“ada kabar baik, yang ingin aku sampaikan”
“aku telah bertunangan, Refa. 2 minggu lagi aku akan menyunting wanita yang selama ini menjadi penggantimu, yang selama ini menemaniku ketika kamu tak ada disini”

Tuhan,
Apa aku tak salah dengar?
Apa aku sedang berhalusinasi?
Kenapa tiba-tiba air mata ini mengalir begitu derasnya dan tak tertahankan?
Aku tak mampu menahan isak tangis yang sedari tadi menunggu untuk dikeluarkan. Rasanya seluruh organ tubuhku merasakan sakit. Bahuku berguncang begitu keras. Aku tak peduli, saat itu aku dimana. Yang pasti aku ingin saat itu juga aku tak bisa terus menerus menahan kesedihan.

Setelah aku merasa tenang, aku menatapnya lagi.
“selamat, Raya. Semoga kamu selalu berbahagia” ucapku sambil tersenyum. Tulus.
“terimakasih Refa, aku sudah tahu bagaimana konskuensinya bila tidak dengan kamu.”
Aku tersenyum, dan pamit untuk bergegas pulang.


Aku takkan melupakan pertemuan ini, yang pasti akan menghadirkan rasa rindu yang amat hebat.
Aku akan tetap seperti ini, biarlah kelak ada sesosok adam yang menjemputku dengan tulus.
Aku tersenyum, lega sekali.
Raya, kau akan selalu disini, meski bukan di tempat yang istimewa, kau akan tetap disini.
Tuhan,
Kalaupun semua terasa tidak baik, aku mohon, perlihatkanlah kepadaku selalu hal yang baik-baik.



Share: