Pertemuan singkat itu ternyata menyisakan sebuah kerinduan
yang teramat hebat.
8 tahun tidak bertemu, dan kini bertemu kembali di suatu
tempat yang pernah mereka lalui.
Ia masih seperti dulu, seperti lelaki yang ku kenal dari 8
tahun yang lalu, masih setia menatap penuh dengan perasaan yang tak
tergambarkan, dan kini, ia masih mau mencariku.
Tepat di rumah makan di pinggir pantai,kami bertemu. Deru debur
ombak berlarian meramaikan suasana diantara kami.
Selama 8 tahun terakhir aku tidak mengetahui keberadaannya,
dan kini aku memenuhi permintaannya yang mendadak untuk bertemu di tempat ini.
Ia mengucapkan salam, dan lagi-lagi masih dari kebiasannya
sejak dulu.
Aku tersenyum, menjawab dengan pelan salam darinya.
Tak ada sentuh jabat tangan dan lainnya, kami menempati
kursi masing-masing dan berhadapan.
Tapi, oh tidak, rasanya aku sangat tak bisa berhadapan dan
beradu tatapan dengan matanya. Ku serongkan badan, dan ia pun tersenyum melihat
tingkahku, seakan mengerti.
Hening.
Waktu berjalan terasa lambat sekali, dan rasanya bibirku
kelu untuk mengucapkan apapun untuknya.
“apa kabar, Refa?”
Sedikit terbata, aku
menjawab “kabarku baik” aku tersenyum.
“maaf, telah
menggangu waktumu, hanya untuk bertemu dengan lelaki sepertiku”
Aku menatapnya,
mencerna kalimat yang barusan ia sampaikan.
Tapi, rasanya
rinduku terlalu hebat, egoku tak terkendali,
“darimana kamu selama
ini, Raya?”
Tiba-tiba sesak
dalam dadaku bergemuruh, rasa sakit, rindu, semuanya berlomba ingin keluar
melalui isak tangis.
“maafkan aku Refa,
rasanya kalau mengingat kembali masa itu, aku tak bisa. Aku ingin mengubur
semua kenangan pada masa itu”
“tapi selama ini,
adakah kamu mencari cinta lain?”
Ia terdiam,
tertunduk, seperti tengah berusaha keras menyembunyikan sesuatu.
“apakah kau mencari
cinta lain, Raya?” tanyaku lagi
Ia mentapku
dalam-dalam, seperti lelaki yang kehilangan kekuatan, terlihat tegar, namun
sebenarnya aku tahu, ia sangat lemah.
“ya, aku mencari
orang lain, Refa”
Seperti gemuruh
petir di siang bolong, aku menelan ludah, terasa sakit sekali kerongkonganku.
“dulu, aku mencari cinta
lain, bukan berarti aku sudah tidak memiliki perasaan lagi untukmu, Reva. Aku mencari
ketika saat itu aku butuh sandaran, dan untuk menghubungimu aku enggan, aku
merasa tak pantas.”
Apa? Apa katanya
tadi?
Mudah sekali ia
mengatakan seperti itu, aku disini berusaha untuk tetap bangkit, meski harus
berkali-kali merasakan hujaman rindu, meski terus berharap agar lelaki itu
dapat menjaga dirinya dengan baik.
“Refa, sebelum kita
tak bertemu, adakah kamu menjelaskan kenapa kita harus berpisah selama ini?”
Aku diam tak
bergeming.
“adakah kamu
menjelaskan itu?, bukankah kamu yang memutuskan untuk pergi? Tanpa memberiku
kesempatan untuk menanyakan alasannya?”
Aku hanya takut,
aku pergi karena aku tak ingin membuatnya terbebani oleh aku, semua
permasalahan yang aku punya, aku tak ingin ia merasakannya juga, aku hanya
takut menyampaikannya, takut ia semakin memikirkan keadaanku. Tapi disisi lain,
aku pun selalu mengharapkan ia kembali dan hadir kembali disisiku.
“Refa, aku pun
laki-laki yang butuh kepastian. Aku pun selalu berharap kamu kembali, meski aku
tidak tahu kabarmu selama ini. Aku pun butuh sandaran yang ketika dulu kamu
menjadi sandarannya lalu menghilang, apa aku bisa tenang?”
Apakah masih ada
sedikit namaku dihatimu itu, Raya?
Apakah keputusanku
salah sehingga kau tak mampu menjaga hatimu, yang selama ini aku harapkan hanya
untukku?
“tapi, sudahlah. “
lelaki itu tersenyum.
“ada kabar baik,
yang ingin aku sampaikan”
“aku telah
bertunangan, Refa. 2 minggu lagi aku akan menyunting wanita yang selama ini
menjadi penggantimu, yang selama ini menemaniku ketika kamu tak ada disini”
Tuhan,
Apa aku tak salah
dengar?
Apa aku sedang
berhalusinasi?
Kenapa tiba-tiba
air mata ini mengalir begitu derasnya dan tak tertahankan?
Aku tak mampu
menahan isak tangis yang sedari tadi menunggu untuk dikeluarkan. Rasanya seluruh
organ tubuhku merasakan sakit. Bahuku berguncang begitu keras. Aku tak peduli,
saat itu aku dimana. Yang pasti aku ingin saat itu juga aku tak bisa terus
menerus menahan kesedihan.
Setelah aku merasa
tenang, aku menatapnya lagi.
“selamat, Raya. Semoga
kamu selalu berbahagia” ucapku sambil tersenyum. Tulus.
“terimakasih Refa,
aku sudah tahu bagaimana konskuensinya bila tidak dengan kamu.”
Aku tersenyum, dan
pamit untuk bergegas pulang.
Aku takkan
melupakan pertemuan ini, yang pasti akan menghadirkan rasa rindu yang amat
hebat.
Aku akan tetap
seperti ini, biarlah kelak ada sesosok adam yang menjemputku dengan tulus.
Aku tersenyum,
lega sekali.
Raya, kau akan
selalu disini, meski bukan di tempat yang istimewa, kau akan tetap disini.
Tuhan,
Kalaupun semua
terasa tidak baik, aku mohon, perlihatkanlah kepadaku selalu hal yang
baik-baik.