Senin, 09 Oktober 2017

Muslim yang beriman adalah muslim yang bertawakkal

Allah SWT., menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia merupakan makhluk Allah yang dibekali akal dan hawa nafsu. Akal merupakan kekuatan bagi manusia, dengan akal manusia dapat berpikir, menganalisis sesuatu, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, manusia bertambah pengetahuannya, dapat mengajar dan di ajar. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 31-33, di mana ketika Allah mengajarkan nama-nama (benda-benda) seluruhnya kepada Adam, dan Adam mampu menyebutkan kembali apa yang telah di ajarkan oleh Allah. Sedangkan, Malaikat pada saat itu, khawatir akan keinginan Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, namun Allah membantah kekhawatiran malaikat dengan berfirman “Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Proses mengajar dan diajar itulah, salah satu tugas seorang khalifah di muka bumi ini, juga merawat, menjaga bumi agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bagi sesama makhluk di bumi ini. Sebagai makhluk Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi hawa nafsu, agar manusia memiliki kecenderungan dan keinginan dalam melaksanakan tugasnya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan dalam kitab Asbabut Takhallaush minal hawa, hal 3 bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya. Sebab, kalalulah tidak ada nafsu makan, minum, dan sebagainya untuk kelangsungan hidup manusia, maka manusia akan punah. Hawa nafsu menjadi baik atau tidaknya tergantung pada hal apa ia disandarkan, jika melanggar pada syari’at maka ia bisa dikatakan tercela, sebaliknya jika di sandarkan kepada syari’at maka ia menjadi terpuji. Tugas manusia sebagai khalifah, adalah menjaga keseimbangan akal dan hawa nafsunya. Karena dengan dua komponen dasar tersebut, manusia dapat menjalankan kehidupan dengan baik, mampu menata dan menyelaraskan antara pikiran dan hawa nafsu. Manusia, sejatinya merupakan makhluk yang lemah, karena ia tidak dapat hidup secara sendirian, atau dapat dikatakan pula dalam ilmu Sosiologi sebagai makhluk sosial, artinya manusia sehebat apapun dalam menjalankan tugas sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini ia pasti membutuhkan teman (orang lain) atau makhluk lain. Tentunya, dalam hal ini saling membutuhkan dalam hal kebaikan, seperti dalam surat Al-Maidah ayat 2: .....وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ... “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Manusia bersifat lemah artinya ia lalai dalam memikirkan kehidupan akhirat, terlalu banyak kesenangan yang semu selama di dunia yang dapat melalaikannya, serta manusia diciptakan lemah karena memang jiwa dan raganya lemah. Dari segi jiwa, ia membutuhkan asupan-asupan kerohanian yang dapat meningkatkan imannya menjadi lebih baik lagi, dan dari segi raganya pada tubuh manusia tidak ada yang bisa disombongkan karena semuanya merupakan ciptaan Allah, dan semuanya berpotensi untuk sakit. Seperti dalam firman Allah surat An-Nisa ayat 28: وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” dan surat Ar-Rum ayat 54 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ “Allah dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Saya ingin menghubungkan uraian di atas dengan keterkaitan makna penjelasan surat Al-Fatihah ayat 5: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ( hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan), dapat dipahami bahwa hanya kepada sang Maha Penciptalah kami menyembah dan Memohon segala macam pertolongan artinya, hanya bergantung kepada Allah segala macam permasalahan yang dihadapi, bermacam keinginan. Ada makna ketauhidan dalam hal ini, ada makna bahwa Allah ingin para hamba-Nya menyembah hanya kepada-Nya, dan meminta tolong hanya kepada-Nya. Ada konsep cinta dan bahagia juga dalam makna ayat ini, ketika seorang hamba telah memasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Pencipta ia telah benar-benar mengakui adanya Sang Pencipta tersebut dan apabila telah memasrahkan seluruh hidupnya otomatis rasa cinta yang menjadi dasar adanya bentuk pengakuan terhadap Tuhan menjadikan kebahagiaan yang tiada tara. Karena hanya ada Allah yang menjadi setiap sandaran dan kekasihnya. Setelah manusia memasrahkan seluruh hidupnya, persoalan hidupnya kepada Allah, maka sudah seharusnya manusia percaya akan ketentuan Allah untuknya, Tawakkal kepada Allah. Percaya apapun hasil dari yang Allah tetapkan kepadanya, merupakan ciri bagi orang yang bertawakkal, ia tidak akan menyerah jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, dan bersyukur juga tidak sombong ketika apa yang diinginkannya sesuai. Seperti dalam surat Al-Insyirah ayat 7-8: فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8) “Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Sebagai khalifah di muka bumi, manusia sudah sepatutnya mengisi hidupnya untuk hal-hal kebaikan, produktif, dan bermanfaat bagi sesama. Karena menurut saya, hal-hal tersebut tidak akan tercapai, jika konsep Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in masih belum diterapkan. (والله أعلم)
Share: