Kamis, 28 Januari 2016

si penampar

Perempuan bertubuh kurus itu terlihat murung, dengan tatapan matanya yang kosong ia seperti sedang berbicara dengan hatinya. Sudah beberapa hari ini ada yang mengusik fikirannya. Tidurnya menjadi tidak nyenyak bahkan makan pun tidak berselera. 
Ia hanya banyak berfikir untuk suatu hal yang semestinya tidak perlu ia fikirkan. 
Ya- ia merasa sudah tertawan. Meski di ujung sana ia tidak tahu yang membuatnya tertawan itu benar-benar menawannya atau tidak. Tapi ia merasa tertawan! Parah! 

Ah tidak parah- seharusnya. 
Kalau ia dapat berfikir jernih menolak asumsi hatinya dengan kelogisan akalnya. 
Namun seiring berfikir ia selalu bertanya yang kemudian selalu di tangkis dengan satu baris lirik lagu "adakah jawabnya?" 

Ia tak banyak bicara.  Meski banyak tamparan hebat untuknya ia berusaha tak bergeming. Meski pada akhirnya ia memberontak di balik layarnya. 
Ia tak pernah ingin menunjukkan siapa dirinya itu. Meski memang nyatanya yang membuatnya (merasa) tertawan tak pernah tahu akan ia sebenarnya. 

"Dasar pemalas! Nulis malas, baca malas. Mau jadi apa kamu nantinya?" 

Ia tak benar- benar mengenali orang yang dengan ikhlasnya berkata seperti itu. Sungguh, meski harus di bayar berapapun untuk mengenalinya ia lebih memilih selalu mendengarkan keganasan celotehannya yang sangat ikhlas itu. 
Ia tergugu menangis. Namun dengan tatapan yang kosong. Oh atau mungkin jiwanya yang sedang menangis. Menangisi hal yang belum ia sadari hingga kini.  Bagaimana ia dapat mengenal Tuhannya kalau dirinya saja belum ia kenali? 

"Mbak.." suara itu mengaburkan lamunannya. Dengan sedikit sinis ia menoleh ke arah suara itu. Ia tak bergeming sedikit pun, hanya menaikkan alis nya saja yang melengkung indah. 
"Ini ada titipan dari mas mas" 
Perlahan ia menerima secarik kertas itu. 
Aneh! Ia merasa aneh, tak ada yang ia kenali di sini. Di tempat sunyi ini. Seharusnya. 

Ia buka. Dan 

"Dasar pemalas! Nulis malas, baca malas. Mau jadi apa kamu nantinya?" 

Ah! Si Penampar lagi!
Perempuan itu sedikit gusar. Ia bergegas pergi dari lamunannya dan kembali ke alam sadarnya. Ia berlari sekuat tenaga, seperti ada yang di kejar. 

Dalam hatinya ia berkata
"Pekatku enyah oleh tamparanmu!" 
Share:

pelukan Tuhan

Entah mengapa
Kini aku merasa
Menjadi bebal

Tak ada kobaran
Api semangat kehidupan
Aku seperti hanya
Mengekor

Bahkan tangisan pun
Meski itu tangisan
Jiwa
Tak dapat aku gugu kan

Jiwaku kering
Seperti tanah yang lama tak
Diguyur oleh hujan
Jiwaku sepi - hampa - kering

Disaat Engkau sedang
Memelukku
Ada yang merebut paksa
Aku dari pelukanMu
Ya- itulah nafsuku


Tuhan
Aku rindu
Lembutnya pelukanMu

Tuhan
Aku rindu
Makhluk sepertiku apa masih
Bisa bertatap
Mata denganMu?

Aku rindu
Tuhan

Rinduku mengaduh
Meraung

Aku rindu 
Share:

Sabtu, 02 Januari 2016

-Yang (entah) Meneduhkan-


Betul Katamu
Aku akan mendengarkannya
Secara diam-diam
Tanpa sepengetahuanmu

Untuk pembuka tahun yang hebat
Di -Januari-ku
Aku menghebat
Ingin menjadi jelmaan sepertimu
Bukan seperti dirimu
Tetapi akalmu jenius-mu

Aku berusaha untuk tidak menghebatkan hatiku karena keteduhanmu
Tapi sepertinya ia terlalu kuat
Untuk aku jumpai sendirian

Untuk pembuka tahun yang hebat
Di -Januari-ku
Aku harus menghebatkan diri
Agar bisa menjadi jelmaan fikiranmu

Aku menjadi puteri yang melayang-layang terhempas oleh keteduhan ucapanmu
Keganasan fikiranmu
Replika firaunmu
Yang membuatku hingga kini melayang-layang

Tapi semua tahu, kau sudah satu.
Melebur bersama Replika Firaun dan kejeniusanmu
Makhluk yang bernama manusia di alam bawah sadar sana

Aku-
Masih melayang-layang bersama celotehanmu-
Enggan kembali ke alam bawah sadar
Aku harus menghebatkan diriku
Sebelum benar-benar berjumpa dengan dirimu
Dengan begitu aku mampu menyadarkan diri
Bahwa kau memang benar-benar telah satu.


Share: