Ketika diluar sedang ramai-ramainya orang membicarakan LGBT
atau para pekerja yang sedang bekerja keras mengumpulkan rupiah. Aku, di kamar
yang hanya ramai oleh suara kipas berputar, masih sibuk berbincang-bincang
dengan diriku sendiri. Melelahkan memang. Tak mendapatkan jawaban apapun dari
pembicaraan ini. Tapi ini nyata. Aku rasanya tak pernah berhenti mengajak
diriku berbincang-bincang terlalu dalam seperti ini.
Memang aku bukan seorang filsuf yang dapat menghasilkan
pemikiran-pemikiran baru ataupun seorang politikus yang memperdebatkan segala
macam tetek bengek aparatur negara dan ‘keindahannya’. Aku hanya seorang yang
sangat jeli melihat perubahan sosial dalam diri seseorang maupun lingkungan
sekitarnya. Meski tak seratus persen benar, setidaknya ke jeli-an ku di akui
oleh sebagian orang.
Entah ini perubahan atau tidak. Yang jelas kata perubahan
selalu mengarah kepada yang lebih baik.
Aku meresahkan komunikasi verbal-ku akhir-akhir ini. Oh,
bukan. Tetapi beberapa tahun belakangan ini. Entah, aku menjadi lebih monolog
dalam suatu percakapan. Lebih senang menerka-nerka setiap kejadian maupun sudut
yang aku amati.
Padahal, kalau mau mengulang ketika aku masih berstatuskan
siswi SD maupun Mts tak pernah rasanya aku merasa canggung dengan orang-orang
di sekitarku. Aku (merasa) sangat cakap dalam berbicara, dan pandai membuat joke-joke
segar dalam suatu perkumpulan. Teman-teman yang lama-lama berbentuk ‘genk’
pun aku mendapatkannya, merasakan kalau aku punya andil dalam hubungan
pertemanan tersebut. Tapi semenjak aku membanting setir menjadi seorang ‘santri’,
aku yang tak pernah memutuskan untuk mejadi pendiam secara perlahan-perlahan
menghampiri.
Meski belum se-ekstrem sekarang ini, setidaknya aku tahu
sejak kapan perubahan komunikasi verbal-ku menurun.
Anehnya, ketika aku mencoba mulai seperti dahulu. Entah apa
yang ada di dalam diriku ini seperti ada yang hilang. Hampa. Seperti tidak rela
kalau aku kembali seperti dulu. Memprotes dengan cara sulitnya aku membasahkan
mata. Bahkan, mengembunkannya saja, sulit!
Meski sudah merayu bahkan memohon, ada bagian tersendiri
dalam jiwaku yang sudah tidak bisa kembali. Bedanya, mungkin saat ini ia lebih
senang tertuang dalam sebuah tulisan. Segala bentuk rasa ia lebih memilih
sendiri- tanpa melalui pendengaran. Tetapi penglihatan.
Dan itu yang menjadikanku selalu berdebat dengan diriku
sendiri. Bercakap-cakap dengan asyiknya- meski di luar sana sepi menyelimuti
percakapan kami. Nyatanya, meski aku pernah berpengalaman dekat dengan seseorang
yang di jurusan Komunikasi, tak mampu merayu diri mengompromikan segala
keindahan komunikasi verbal-ku yang dulu.
Merindu dengan mudahnya bercakap-cakap dengan Ibu, tertawa
hingga matanya menyipit. Dengan ayah yang di akhir selalu meledekku dengan
kalimat-kalimat konyolku. Tanpa harus banyak isyarat, tanpa harus banyak pengamatan
begitu dalam.
Jadi, apa kabar verbal-ku? Sungguh, aku merindukanmu.