Sabtu, 20 Februari 2016

cakap-cakap bersua



Ketika diluar sedang ramai-ramainya orang membicarakan LGBT atau para pekerja yang sedang bekerja keras mengumpulkan rupiah. Aku, di kamar yang hanya ramai oleh suara kipas berputar, masih sibuk berbincang-bincang dengan diriku sendiri. Melelahkan memang. Tak mendapatkan jawaban apapun dari pembicaraan ini. Tapi ini nyata. Aku rasanya tak pernah berhenti mengajak diriku berbincang-bincang terlalu dalam seperti ini.

Memang aku bukan seorang filsuf yang dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran baru ataupun seorang politikus yang memperdebatkan segala macam tetek bengek aparatur negara dan ‘keindahannya’. Aku hanya seorang yang sangat jeli melihat perubahan sosial dalam diri seseorang maupun lingkungan sekitarnya. Meski tak seratus persen benar, setidaknya ke jeli-an ku di akui oleh sebagian orang.

Entah ini perubahan atau tidak. Yang jelas kata perubahan selalu mengarah kepada yang lebih baik.  
Aku meresahkan komunikasi verbal-ku akhir-akhir ini. Oh, bukan. Tetapi beberapa tahun belakangan ini. Entah, aku menjadi lebih monolog dalam suatu percakapan. Lebih senang menerka-nerka setiap kejadian maupun sudut yang aku amati.

Padahal, kalau mau mengulang ketika aku masih berstatuskan siswi SD maupun Mts tak pernah rasanya aku merasa canggung dengan orang-orang di sekitarku. Aku (merasa) sangat cakap dalam berbicara, dan pandai membuat joke-joke segar dalam suatu perkumpulan. Teman-teman yang lama-lama berbentuk ‘genk’ pun aku mendapatkannya, merasakan kalau aku punya andil dalam hubungan pertemanan tersebut. Tapi semenjak aku membanting setir menjadi seorang ‘santri’, aku yang tak pernah memutuskan untuk mejadi pendiam secara perlahan-perlahan menghampiri.
Meski belum se-ekstrem sekarang ini, setidaknya aku tahu sejak kapan perubahan komunikasi verbal-ku menurun. 

Anehnya, ketika aku mencoba mulai seperti dahulu. Entah apa yang ada di dalam diriku ini seperti ada yang hilang. Hampa. Seperti tidak rela kalau aku kembali seperti dulu. Memprotes dengan cara sulitnya aku membasahkan mata. Bahkan, mengembunkannya saja, sulit! 

Meski sudah merayu bahkan memohon, ada bagian tersendiri dalam jiwaku yang sudah tidak bisa kembali. Bedanya, mungkin saat ini ia lebih senang tertuang dalam sebuah tulisan. Segala bentuk rasa ia lebih memilih sendiri- tanpa melalui pendengaran. Tetapi penglihatan. 

Dan itu yang menjadikanku selalu berdebat dengan diriku sendiri. Bercakap-cakap dengan asyiknya- meski di luar sana sepi menyelimuti percakapan kami. Nyatanya, meski aku pernah berpengalaman dekat dengan seseorang yang di jurusan Komunikasi, tak mampu merayu diri mengompromikan segala keindahan komunikasi verbal-ku yang dulu.

Merindu dengan mudahnya bercakap-cakap dengan Ibu, tertawa hingga matanya menyipit. Dengan ayah yang di akhir selalu meledekku dengan kalimat-kalimat konyolku. Tanpa harus banyak isyarat, tanpa harus banyak pengamatan begitu dalam. 

Jadi, apa kabar verbal-ku? Sungguh, aku merindukanmu.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar