Minggu, 27 November 2016

Menyoal izin yang belum diraih

Ketika aku menyatakan bahwa ada kalam yang ingin ku genggam, aku lupa. Aku hanya sebatas mengatakannya saja, tak meminta izin dulu kepada pemiliknya. Dengan fasih, aku berdoa untuk diriku sendiri saja. Tanpa berfikir apakah izin nya sudah kuraih atau belum. Egois, tanpa meminta izin aku mulai belajar menggenggamnya. Proses itu aku selalu lupa bahwa aku belum meminta izin kepada yang memiliki kalam tersebut. Maka ketika aku sedang semangat ataupun sebaliknya, aku hanya berdoa untuk diriku sendiri, lupa tujuanku untuk apa, lupa genggaman itu harus ku genggam selamanya, lupa. Karena kini aku sadar, menggengamnya merupakan suatu awal yang tiada akhirnya.
Share:

Tak berwaktu

Malam itu sebuah kenangan tewas tak terselamatkan.Tak ada yang tahu mengapa ia tewas, tak ada yang peduli barang sedikitpun kepada kenangan. Kenangan tewas bersama segala macam isi yang ada didalamnya,bersamanya,namun konon sebelum ia tewas ia sempat mengorek luka di tubuhnya, luka yang tak satupun orang tahu penyebabnya. Lama kelamaan luka itu semakin membesar, semakin dalam, ia terhanyut meski perih ia korek sendiri. Ia sempat mengaduh namun tetap menikmati goresan luka itu, hingga habis dirinya oleh luka yang ia gores sendiri. Kabar mengenai tewasnya kenangan itu sampai kepada kota tak berwaktu,kota itu tak memiliki waktu karena seluruh kenangan hidup di dalamnya. Kenangan tak mengenal waktu, ia hidup semaunya dalam diri kota tak berwaktu itu.
Share: