Senin, 09 Oktober 2017

Muslim yang beriman adalah muslim yang bertawakkal

Allah SWT., menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia merupakan makhluk Allah yang dibekali akal dan hawa nafsu. Akal merupakan kekuatan bagi manusia, dengan akal manusia dapat berpikir, menganalisis sesuatu, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, manusia bertambah pengetahuannya, dapat mengajar dan di ajar. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 31-33, di mana ketika Allah mengajarkan nama-nama (benda-benda) seluruhnya kepada Adam, dan Adam mampu menyebutkan kembali apa yang telah di ajarkan oleh Allah. Sedangkan, Malaikat pada saat itu, khawatir akan keinginan Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, namun Allah membantah kekhawatiran malaikat dengan berfirman “Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Proses mengajar dan diajar itulah, salah satu tugas seorang khalifah di muka bumi ini, juga merawat, menjaga bumi agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bagi sesama makhluk di bumi ini. Sebagai makhluk Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi hawa nafsu, agar manusia memiliki kecenderungan dan keinginan dalam melaksanakan tugasnya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan dalam kitab Asbabut Takhallaush minal hawa, hal 3 bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya. Sebab, kalalulah tidak ada nafsu makan, minum, dan sebagainya untuk kelangsungan hidup manusia, maka manusia akan punah. Hawa nafsu menjadi baik atau tidaknya tergantung pada hal apa ia disandarkan, jika melanggar pada syari’at maka ia bisa dikatakan tercela, sebaliknya jika di sandarkan kepada syari’at maka ia menjadi terpuji. Tugas manusia sebagai khalifah, adalah menjaga keseimbangan akal dan hawa nafsunya. Karena dengan dua komponen dasar tersebut, manusia dapat menjalankan kehidupan dengan baik, mampu menata dan menyelaraskan antara pikiran dan hawa nafsu. Manusia, sejatinya merupakan makhluk yang lemah, karena ia tidak dapat hidup secara sendirian, atau dapat dikatakan pula dalam ilmu Sosiologi sebagai makhluk sosial, artinya manusia sehebat apapun dalam menjalankan tugas sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini ia pasti membutuhkan teman (orang lain) atau makhluk lain. Tentunya, dalam hal ini saling membutuhkan dalam hal kebaikan, seperti dalam surat Al-Maidah ayat 2: .....وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ... “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Manusia bersifat lemah artinya ia lalai dalam memikirkan kehidupan akhirat, terlalu banyak kesenangan yang semu selama di dunia yang dapat melalaikannya, serta manusia diciptakan lemah karena memang jiwa dan raganya lemah. Dari segi jiwa, ia membutuhkan asupan-asupan kerohanian yang dapat meningkatkan imannya menjadi lebih baik lagi, dan dari segi raganya pada tubuh manusia tidak ada yang bisa disombongkan karena semuanya merupakan ciptaan Allah, dan semuanya berpotensi untuk sakit. Seperti dalam firman Allah surat An-Nisa ayat 28: وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” dan surat Ar-Rum ayat 54 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ “Allah dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Saya ingin menghubungkan uraian di atas dengan keterkaitan makna penjelasan surat Al-Fatihah ayat 5: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ( hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan), dapat dipahami bahwa hanya kepada sang Maha Penciptalah kami menyembah dan Memohon segala macam pertolongan artinya, hanya bergantung kepada Allah segala macam permasalahan yang dihadapi, bermacam keinginan. Ada makna ketauhidan dalam hal ini, ada makna bahwa Allah ingin para hamba-Nya menyembah hanya kepada-Nya, dan meminta tolong hanya kepada-Nya. Ada konsep cinta dan bahagia juga dalam makna ayat ini, ketika seorang hamba telah memasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Pencipta ia telah benar-benar mengakui adanya Sang Pencipta tersebut dan apabila telah memasrahkan seluruh hidupnya otomatis rasa cinta yang menjadi dasar adanya bentuk pengakuan terhadap Tuhan menjadikan kebahagiaan yang tiada tara. Karena hanya ada Allah yang menjadi setiap sandaran dan kekasihnya. Setelah manusia memasrahkan seluruh hidupnya, persoalan hidupnya kepada Allah, maka sudah seharusnya manusia percaya akan ketentuan Allah untuknya, Tawakkal kepada Allah. Percaya apapun hasil dari yang Allah tetapkan kepadanya, merupakan ciri bagi orang yang bertawakkal, ia tidak akan menyerah jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, dan bersyukur juga tidak sombong ketika apa yang diinginkannya sesuai. Seperti dalam surat Al-Insyirah ayat 7-8: فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8) “Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Sebagai khalifah di muka bumi, manusia sudah sepatutnya mengisi hidupnya untuk hal-hal kebaikan, produktif, dan bermanfaat bagi sesama. Karena menurut saya, hal-hal tersebut tidak akan tercapai, jika konsep Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in masih belum diterapkan. (والله أعلم)
Share:

Selasa, 16 Mei 2017

Gerah

Akhir-akhir ini, Jakarta begitu gerah bagiku.
Terlebih tempat tinggalku kini.
Aku seperti dalam sauna.
Jakarta gerah.

Namun, bukan gerah di sana saja.
Di sini juga.
Di mana aku, sudah menanggalkan beberapa atribut mengingatmu.

Meski menyesakkan,
Aku harus melakukannya.
Menerjang rindu yang terus menghantam.

Dan aku tak ingin mengalah, aku membiarkan rindu yang mengalah.
Dan aku, menuju mati rasa. 

Share:

Senin, 08 Mei 2017

Mengarang Bebas

Hari ini aku akan belajar mengarang apapun. Tanpa memedulikan apakah ini benar atau salah, apakah ada norma yang harus dilarang atau tidak. Aku tahu ketika kita telah mencintai seseorang, sebenarnya yang kita cintai adalah diri kita sendiri. Ketika salah satu tidak mencintai, yah bisa dikatakan “separuh jiwaku pergi” (sendirian pulaaak! Haha) Aku ingin mengatakan bahwa aku termasuk perempuan yang memiliki tingkat kesensitifan yang tinggi, begitu mudah merasa, begitu tinggi tingkat ke-geeran yang menyebabkan gagal paham rasa. Aku ingin meluapkan apapun yang aku rasakan dua tahun terakhir ini, hidup bersama bayang-bayang, kadang tersenyum, kadang meringis, kadang aku mendapatkan beitu macam ide. Entah sejak dua tahun belakangan, aku begitu melankolis terhadap kata-kata, bagiku kata-kata sebagai keniscayaan, aku telalu terpana akan keindahannya. Dulu aku mengelak kagum terhadap si perangkai kata-kata, namun kini aku sadar sesuatu lahir dengan indah karena kehebatan orang yang melahirkannya, ia menjadikan kata-kata itu menjadi hidup, menjadi indah , menjadi ingin selalu dibaca berulang kali, dan aku sambil membayangkan perasaan penulis kata-kata tersebut. Aku menghela nafas dalam, rasanya ingin menangis. Bukan hanya karena hatiku yang rapuh karena kata-kata, namun kegundahan hatiku selama ini yang tak bisa aku luapkan dengan baik, selalu aku tahan, namun rasanya aku butuh meluapkan melalui kata-kata juga. Aku masih memandangi layar laptop, tak peduli aku harus seperti apa, yang jelas kepalaku begitu pening, namun ingin meluapkan apa yang ada di pikiranku. Aku tahu, seharusnya aku mampu menata perasaanku lebih baik lagi, aku yang begitu mudahnya memberi nasihat kepada teman-teman terkait masalah perasaan, namun begitu linglung (surabi kaleee) menghadapi perasaan sendiri, Ya, sepertinya aku sudah terjebak oleh ilusiku sendiri. Menganggap ada yang tidak ada, Menganggap benar apa yang tidak benar, Its hard to believe. Setelah hari-hari itu berlalu, aku baru saja dihadapkan dengan isu yang tidak mengenakan, dan kini aku harus menghadapi isu yang aku suguhkan untuk hatiku sendiri. Ah, aku masih saja bercerita yang rasanya kurang bermanfaat, namun kalau tidak begini rasanya hatiku takkan membaik. Ciputat, 2017.
Share:

Sabtu, 22 April 2017

Pertemuan

Aku menunggu dengan resah.
Pertemuan ini rasanya seperti pertama kali.
Padahal sebelumnya kita sesekali bertegur sapa dalam dunia maya.
Aku gerah, mataku merah. Kelelahan setelah seharian memanjakan mata.
Tapi, rasa lelah itu tergantikan dengan senyumanmu dalam menyapaku.
Kita sudah bertemu.
meski sungguh tidak yakin dengan keadaan diriku yang tidak ada persiapan apapun, dandan tidak, baju kumel, dan persiapan isi percakapan,  aku sama sekali tak menyiapkannya. Begitu apa adanya bertemu denganmu.
Aku mencoba untuk menyamankan diriku senyaman mungkin.
Bertemu denganmu harusnya menjadi hal yang biasa saja, tapi tempat dan waktu yang menjadikannya tak biasa.
Percakapan terasa sedikit canggung (bagiku), karena aku tak menyiapkan apapun untuk berbincang denganmu. Sangat berbeda denganmu yang sepertinya terbiasa berbicara penuh dengan makna. Aku seperti dihadapkan pada tumpukan buku, mendengarkan dengan seksama seperti membaca sekaligus memahami kata demi kata yang terucap.
Aku lebih banyak mendengarkan, memerhatikan caramu berbicara meski sesekali aku membalas dengan anggukan atau dengan perkataan juga.
Malam itu, di kota pelajar begitu ramai, terlebih di Malioboro, mungkin semakin malam semakin ramai, dan pembicaraan semakin sedikit, lebih banyak menikmati malam.
Aku, mulai menyusuri jalan sepanjang Malioboro melihat-lihat (lagi) apa yang sudah aku lihat dua hari sebelumnya.
Dan pertemuan kita selesai, selebihnya kata-katamu yang menemani hariku di kota itu.
21/04/17.

Share:

Jumat, 03 Maret 2017

Perempuan, Puisi, dan Ketidakwarasan II

Hari ini, kisah menutup alurnya sendiri tanpa keikutsertaan penulisnya. Ia lebih memilih menutup kisah yang ia buat sendiri, yang ia sebenarnya tahu bahwa ini hanya dugaannya saja.
.
Kisah menutup alurnya sendiri tanpa keikutsertaan penulisnya. Karena ia tahu, penulisnya sudah jauh-jauh hari mencoba tidak mengikuti kata hati, mencoba melawan dugaan selama ini. 
.
Padahal, kisah sudah mencoba mengingatkan kepada penulisnya agar mau melanjutkan kembali alur, bahkan konflik yang ia butuhkan dalam cerita ini, "Aku tak pandai membuat konflik di dalam cerita," jawabnya pasrah.
.
Dan hari ini, perempuan, puisi, dan ketidakwarasan sudah tak memiliki 'jiwa' nya lagi. 

Share:

Jumat, 17 Februari 2017

Perempuan, Puisi, dan Ketidakwarasan.

Hari ini aku akan bercerita tentang perempuan yang memilih mencintai kata setelah dirinya luruh bersama kata. . . Perempuan itu baru saja patah hati. Namun, ia tak mendramatisir apa yang baru saja hilang dari hidupnya setelah begitu lama mendiami hatinya. Sudah tak ada lagi tangisan, ingatan-ingatan yang mengubahnya menjadi sebuah cerita. Namun, menjelang usianya ke-21 tahun, ia mulai berkenalan dengan beberapa baris kata, yang lama-lama mengubahnya bak alunan sendu. Setiap hari ia dibanjiri puisi dari kota pemiliknya. Ia tak menyukai pengirim kata-kata itu, namun ia menyukai setiap puisi yang ditulis olehnya dan beberapa untuknya. Ia mulai merasakan setiap kata yang tercipta.Fatamorgana menghampirinya, namun ia masih ingin melayang-layang bersama kata-kata yang sudah merasukinya. Tepat di usianya ke-21,puisi begitu deras menghujaninya, ia kebasahan, usianya begitu membasah. Sekali lagi, itu fatamorgana setelah itu tak ada ceramah puisi, hujan kata-kata. Musim kemarau kata mulai menggantikannya. Hari-harinya mulai diisi dengan kewarasan sebagaimana mestinya. Namun, lagi-lagi menjelang usianya ke-22 tahun ia berhadapan kembali dengan kata-kata puisi. Tapi kali ini berbeda, ia tak begitu menggubrisnya meski rasanya ia begitu tergoda ingin mencicipi rasa puisi itu. Akal begitu mendominasinya namun akhirnya ia merasakannya juga. Manis dan penuh ketidakberdayaan menurutnya. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan kefatamorganaan. Ia mendesah resah, merasa konyol tertawa terbahak hingga menangis tersedu-sedu. Fatamorgana adalah sahabat sunyi dari pemilik kata-kata, menurutnya. Ia menutup kisahnya dengan kata-kata, "Kalau aku harus jatuh cinta kepada penyair, aku pastikan akan jatuh pada kata-katanya, bukan pada pemiliknya. " Cinangka, 18/02/17.
Share:

Selasa, 07 Februari 2017

Hanya Kata

"Dek,penyair itu bisa membuat jatuh dan patah hati dalam satu waktu." "Oh, penyair itu (si)apa kak?" "Manusia yang berlumurkan kata-kata, bahkan dirinya juga merupakan kata-kata."
Share:

Minggu, 29 Januari 2017

Bukan sekadar wacana

11 Februari 2016 Saat itu pelantikan seluruh BKKBM IIQ Jakarta, termasuk Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) IIQ Jakarta di dalamnya. Saat itu, saya mewakili teman-teman untuk mengetuai LPM Kabar IIQ Jakarta. Rasanya mengemban amanah menjadi salah satu bagian dari media informasi kampus itu memang menyenangkan atau bisa dibilang terlihat menyenangkan, namun bagi saya itulah awal dari petualangan sebenarnya. Waktu berlalu, kegiatan demi kegiatan, diskusi demi diskusi yang tak kenal waktu, berbeda kepala- ada yang panas dikala dingin dan ada yang dingin dikala panas sudah kami lewati. Hingga setelah LPJ tibalah waktu liburan. Yogyakarta bukanlah sekedar wacana, tetapi direalisasikan melalui uang kumpulan yang kami sebut CIBU-CIBU, Alhamdulillah karena keuletan dan ‘keganasan’ Mbak Azzah dalam menagih Cibu-cibu akhirnya pada tanggal 22 Januari 2017 kami berangkat menuju Yogyakarta. Kami bersembilanan bertolak menuju Yogyakarta, namun karena satu dan lain hal, salah satu teman kami yang bernama Ulfi harus tertinggal kereta dan langsung menyusul pada hari itu juga. Hari-hari sebelumnya kami sudah mendaftar wisata-wisata mana saja yang akan kami kunjungi, mengingat penginapan kami hanya 1,5 km dari alun-alun kidul maka sudah pasti alkid dan malioboro tak absen untuk dikunjungi. Kereta sudah sampai di stasiun Lempuyangan, aroma keromantisan Yogyakarta sudah tercium sejak kami menginjakkan kaki di stasiun. Alhamdulillah, saya mempunyai Bude di Yogyakarta yang tempatnya tidak jauh dari stasiun Lempuyangan, maka pada malam pertama kami di Yogyakarta kami menginap di rumah bude saya. Esoknya kami menuju penginapan, nama penginapan kami adalah Deep Purple Homestay berlokasi di Gedongkiwo atau lebih tepatnya Pojok Tengah wetan Yogyakarta. Rental mobil sudah kami dapatkan, dan pada hari itu juga kami berangkat menuju pantai Baron dan Drini di Gunung kidul Yogyakarta. Kami menikmati selama perjalanan, ditemani bapak supir yang ramah dan menawarkan tempat-tempat wisata. Kami mengikuti saja karena selama di Yogya kami ingin satu hari langsung mengunjungi beberapa tempat wisata sekaligus. Pantai memang selalu menyuguhkan keindahan yang berbeda, mulai dari yang elegan, cantik, hingga terasa eksotis. Disana kami mulai mengambil gambar, meski rintik-rintik hujan menyambut kami, kami tetap senang dan bermain sesuka hati kami. Di pantai Baron, tidak terlalu lama karena ada satu pantai lagi yang akan kami kunjungi yaitu pantai Drini. Letak pantai ini memang terasa bersebelahan karena jaraknya cukup dekat. Pantai Drini memang lebih indah dan bersih dari pantai Baron, kami menyewa perahu kecil untuk dua orang secara bergantian untuk mendayung, batu karang yang besar, air yang jernih dan banyak atribut-atribut cantik yang secara sembarang berjejer di atas pasir untuk foto-foto. Ada pelajaran yang saya ambil ketika mendayung. Dalam mendayung harus tercipta kerjasama yang seirama dan jelas dalam menentukan tujuan. Walau badai menghadang (eaaaa..) walau ombak berkejar-kejaran hendak mengejar kami, namun saat itu ombak hanya menggoyangkan perahu kami dan lama-kelamaan kami menikmatinya. Selesai dari pantai Drini kami menuju Candi Prambanan, muka sudah kucel, pakaian dari basah hingga kering kami tetap lanjut menuju Prambanan. Kami begitu terpana melihat keindahan candi prambanan yang dibalut senja. Selepas dari Prambanan kami menuju alun-alun utara untuk nyicipi gudeg yang menurut bapak supirnya itu enak dan pas di lidah. Maka kami mampir sebentar untuk mengisi perut kami yang sudah keroncongan. Setelah mengisi perut, kami menuju malioboro. Meskipun sungguh sudah lelah, kami tetap dapat menikmati sajian-sajian yang ditawarkan di Malioboro, mulai dari permainan musik, dan pertunjukan lainnya. Malamnya kami menuju penginapan, rindu akan Kasur sudah begitu membuncah dan akhirnya kami terlelap. Esok paginya kami masih menikmati kota Yogyakarta dengan pergi lagi menuju malioboro, agenda hari ini memang berbelanja oleh-oleh. Meski hujan turun, kami tetap melanjutkan berburu oleh-oleh. Hingga waktu sore tiba, kami berkumpul di Nol Kilometer, pemandangan yang cantik menuju maghrib adalah ketika memandangi gedung BNI dan lalu-lalang kendaraan. Namun, kami tinggal ber-delapan, karena Ana harus pulang ke kampung halamannya di Tuban Jawa Timur pada hari itu. Setelah berkumpul kami menuju alun-alun kidul, menunaikan shalat dan kemudian bermain kembali. Kami menaiki mobil-mobilan yang nyala (kalau saya sih menyebutnya dengan odong-odong hahaha). Berdelapan kami menaiki mobil itu dengan pengemudi ka Ihwal yang harus membawa beban kami yang cukup berat ini. Satu putaran sudah cukup bagi kami, karena urat-urat kaki sudah mulai menjerit kesakitan. Kami makan malam di angkringan sekitar alun-alun, sayangnya kami tidak sempat ke pohon kembar di alun-alun karena keadaan tanah yang becek. Dan kami pun kembali ke penginapan. Esok paginya, Mbak Azzah bersiap-siap menuju stasiun Lempuyangan untuk pulang ke kampung halamannya di Tegal, Jawa tengah. Dan siangnya, Ka Ihwal, Mbak Mahyu, ka Azmi dan Amah harus kembali ke Jakarta. Hanya ada saya, ka Cici, dan Ulfi yang masih belum puas di Yogyakarta, hahahah…. Ketika mereka ber-empat menuju stasiun Lempuyangan, kami (saya, ka Cici, dan Ulfi) pergi ke Krapyak, lebih tepatnya Pesantren al-Munawwir Krapyak untuk silaturahim ke salah satu teman kami yaitu Sofwatun Nada dan juga rasa ingin tahu mengenai pesantren Krapyak itu. Baru sekitar 20 menit sampai, hujan turun dengan deras. Sangat disayangkan, karena tidak bisa keliling pesantren Krapyak dengan puas. Karena ka Cici harus menuju bandara pukul 17:00 maka kami pamit pulang. Agenda malam hari kami (saya dan Ulfi) hanya beristirahat full, mengisi amunisi untuk esok hari. Saya merasa bahagia dan bersyukur Allah masih mepertemukan saya dengan teman-teman yang baik. Salah satu teman pesantren saya di Bogor, Zein Azhar meminjamkan sepeda motor untuk berkeliling Yogya sepuasnya. Maka kami tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami berangkat pada pagi hari menuju hutan pinus Mangunan. Karena saya tidak bisa mengendarai motor, maka Ulfi lah yang mengendarainya dari awal hingga akhir . Medan jalan yang dibilang cukup tidak biasa, karena cukup curam dan tinggi akhirnya kami lewati. Hutan pinus Mangunan saat itu tidak terlalu ramai karena kami masih cukup pagi sampai disana. Keadaan tanahnya yang cukup becek karena hujan, namun kami tetap mengambil gambar hingga naik ke rumah pohon. Setelah tidak terasa tiga jam dilalui, kami menuju Bukit Mojo, masih di daerah Bantul. Kali ini, medan perjalannya lebiih curam dan tinggi dibanding sebelumnya, rumah-rumah yang masih sedikit, namun masih asri. Setelah memacu adrenalin, kami pun tiba. Pemandangan yang disuguhkan sungguuuh cantiiik dan menyejukkan. Setelah puas menikmatinya dengan berfoto-foto. Kami pun menuju pantai Parangtritis. Menuju parangtritis itu saya rasa cukup jauh, tapi yang membuat kami tetap menikmatinya adalah tidak adanya kemacetan yang kami temui selama perjalanan. Sampai parangtritis kami terpana, ombak-ombak yang besar saling berkejar-kejaran seakan ingin melalap mangsa didepannya. Pantai ini begitu luas dan lebar, namun tidak banyak terlihat para wisatawan berenang di pantai tersebut karena dilarang. Bagi saya, parangtritis adalah pantai yang eksotis, entah kenapa sejak pertama kali memandangnya, kesan eskotis dan seksi sudah saya rasakan, dan untuk lebih puas, kami menaiki kuda dan berjalan-jalan di pinggir pantai. senja mulai berpamitan, kami pulang. Maghrib kami tiba di Masjid Keraton Kaliurang atau biasa disebut Masjid Gede di alun-alun. Setelah menunaikan shalat, saya berpisah dengan teman saya. Ia kembali ke penginapan dan saya menuju nol kilometer untuk bertemu dengan teman dan berbelanja (lagi)  Malamnya kami tertidur dengan pulas karena esok hari kami pulang menuju rumah masing-masing. Perjalanan selama 4-6 hari ini memang begitu menyenangkan..berbagai macam kejadian kami alami dan lalui, mulai dari rasa kekeluargaan, rasa kepekaan terhadap sesama, handphone yang bermandikan ombak, pertemuan dengan teman lama, oleh-oleh yang tertinggal, bagi saya ini adalah warna-warni perjalanan kami selama ini. Sangat bahagia,,bersyukur diberikan rezeki oleh Allah berupa kalian.  Love you all teu ereun-ereun … muaaaah…
Share: